DAMPAK PERATURAN KEHUTANAN


DAMPAK PERATURAN KEHUTANAN


Baru-baru ini pemerintah telah merilis belasan analisis mengenai dampak peraturan. Peraturan yang cermat dan tepat karena telah memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa mendatang mungkin dampak negatifnya cukup kecil. Namun sebaliknya jika peraturan yang dibuat tidak cermat bahkan keliru, maka dampaknya akan sangat besar. Khusus mengenai peraturan di sektor kehutanan, dampak negatif tersebut telah pernah terjadi karena aturan pelaksanaannya keliru atau tidak berlandaskan kepada undang-undangnya. Setidak-tidaknya telah terjadi dua kali kecelakaan sejarah kehutanan dalam dua dekade terakhir ini akibat lemahnya peraturan perundang-undangan.

Di awal tahun delapan puluhan kecelakaan sejarah kehutanan terjadi ketika program penghijauan dan reboisasi sedang digencarkan. Kecelakaan sejarah seperti itu kembali terulang ketika program pengembangan hutan tanaman industri digalakan 20 tahun kemudian. Kedua kecelakaan sejarah kehutanan tersebut terjadi sebagai dampak dari peraturan pelaksanaan yang menjadi dasar hukumnya keliru atau menyimpang dari ketentuan dalam undang-undangnya.

Pada kasus reboisasi banyak pejabat kehutanan terpaksa berhadapan dengan sidang pengadilan. Hal ini terjadi karena hal-hal yang sangat teknis diatur sangat detail dalam peraturan-peraturan perundang-undangannya. Sementara itu peraturan-peraturan pelaksanaan kegiatan hutan tanaman industri tidak secara tepat mengikuti undang-undang kehutanan.

Dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang diundangkan pada tanggal 30 September 1999, kegiatan pembangunan hutan tanaman diatur dalam Pasal 28. Pembangunan hutan tanaman merupakan salah satu kegiatan pemanfaatan hasil hutan pada hutan produksi. Hal ini secara jelas dicantumkan pada penjelasan Pasal 28 ayat (1) alinea 3 yang berbunyi: Pemanfaatan hasil hutan pada hutan produksi dapat berupa usaha pemanfaatan hutan alam dan usaha pemanfaatan hutan tanaman.

Selanjutnya pada alinea ke empat penjelasan Pasal 28 ayat (1) tersebut pada kalimat kedua berbunyi: Usaha pemanfaatan hutan tanaman diutamakan dilaksanakan pada hutan yang tidak produktif dalam rangka mempertahankan hutan alam.

Berkaitan dengan ketentuan dalam Pasal 28 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tersebut, Menteri Kehutanan menerbitkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 10.1/ Kpts-II/ 2000 tentang Pedoman Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman pada tanggal 6 November 2000. Dalam Pasal 3 Keputusan Menteri tersebut ditetapkan:

(1)   Areal hutan yang dapat dimohon untuk Usaha Hutan Tanaman adalah areal kosong di dalam kawasan hutan produksi dan/ atau areal hutan yang akan dialih fungsikan menjadi kawasan Hutan Produksi serta tidak dibebani hak-hak lain.

(2)   Dalam hal alih fungsi kawasan hutan menjadi kawasan hutan produksi, maka prosedurnya harus berkoordinasi dengan DPRD dan disetujui Menteri atas rekomendasi Gubernur.

(3)   Keadaan topografi dengan kelerengan maksimal 25%, dan topografi pada kelerengan 8% sampai dengan 25% harus diikuti dengan upaya konservasi tanah.

(4)   Keadaan vegetasi berupa non hutan (semak belukar, padang alang-alang dan tanah kosong) atau areal bekas tebangan yang kondisinya rusak dengan potensi kayu bulat berdiameter 10 cm untuk semua jenis kayu dengan kubikasi tidak lebih dari 5m3 per hektar.

Ketentuan-ketentuan tersebut di atas tidak sepenuhnya mengacu pada Pasal 28 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 khususnya mengabaikan kata “diutamakan” sebagaimana tertuang dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 pada alinea ke empat. Celakanya, ketentuan dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 10.1/ Kpts-II/ 2000 tersebut diambil-alih lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut, Pasal 30 ayat (3) menetapkan bahwa usaha pemanfaatan hasil hutan pada hutan tanaman, dilaksanakan pada lahan kosong, padang alang-alang dan atau semak belukar di hutan produksi.

Diabaikannya kata “diutamakan” dalam peraturan pelaksanaan Pasal 28 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tersebut ternyata telah menimbulkan dampak yang sangat serius yaitu terhentinya aktivitas pembangunan hutan tanaman industri di Propinsi Riau bahkan nyaris selama tiga tahun. Dampak lebih lanjut dari terhentinya pembangunan hutan tanaman industri adalah tidak tercapainya program pemerintah. Hal ini terjadi karena dalam proses penegakan hukum upaya pemberantasan illegal logging, pembangunan hutan tanaman industri dalam areal hutan rawang dianggap melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Ditinjau dari sudut pandang Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002 dan Keputusan Menteri Kehutanan No. 10.1/ Kpts-II/ 2000, pembangunan hutan tanaman industri di areal hutan rawang di Propinsi Riau jelas melanggar. Akan tetapi bila dikembalikan pada ketentuan Pasal 28 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 khususnya pada penjelasannya, pelaksanaan pembangunan hutan tanaman industri di Propinsi Riau ini tidak melanggar undang-undang. Hal ini terkait dengan kata “diutamakan” dari penjelasan Pasal 28 ayat (1) alinea ke empat Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 yang mengandung makna adanya pilihan. Berdasarkan penjelasan Pasal 28 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tersebut, sasaran utamanya adalah hutan yang tidak produktif. Namun demikian apabila sasaran utama ini tidak ada, maka sasaran lokasi pembangunan hutan tanaman industri dapat beralih ke sasaran lain yaitu hutan yang produktif.

Penempatan kegiatan pembangunan hutan tanaman di areal hutan yang produktif ini dimungkinkan, bila berdasarkan kajian ilmiah dan obyektif pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman lebih menguntungkan secara teknis, ekonomis, maupun sosiologis dibandingkan dengan pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam.

Selain itu pengertian hutan yang tidak produktif dalam Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002 maupun dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 10.1/ Kpts-II/ 2000 tersebut seolah-olah hanya tanah kosong, padang alang-alang, dan atau semak belukar saja. Hal ini tidak sesuai dengan ilmu kehutanan, karena dalam ilmu kehutanan hutan tidak produktif berupa antara lain tanah kosong, hutan bertumbuhan kurang, hutan rawang, tanaman gagal dan miskin riap. Termasuk kategori tanah kosong dalam ilmu kehutanan antara lain adalah padang alang-alang dan semak belukar.

Kesalahan atau kurang sesuainya Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002 dan Keputusan Menteri Kehutanan No. 10.1/ Kpts-II/ 2000 terhadap Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tersebut kemudian diperbaiki dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007. Dalam Pasal 38 ayat (3) peraturan pemerintah tersebut ditetapkan bahwa pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTI, dilakukan pada hutan produksi yang tidak produktif. Ketentuan ini pun ternyata masih belum sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999, sehingga direvisi kembali dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2008. Dalam Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2008 ini ditambahkan kata “diutamakan” agar sesuai dengan bunyi ketentuan dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999, sehingga berbunyi: Pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTI diutamakan pada kawasan hutan produksi yang tidak produktif. Bahkan dalam peraturan pemerintah ini diberikan pula penjelasan tentang hutan produksi yang tidak produktif tersebut.

Walaupun beberapa ketentuan telah mulai diperbaiki, namun pemerintah masih harus berhati-hati jika mengeluarkan peraturan. Masih ada ketentuan dari Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 yang belum ditindaklanjuti misalnya tentang Masyarakat Hukum Adat, Hutan Adat, dan Pemanfaatan Hutan Adat. Pasal 39 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 yang mengatur Pemanfaatan Hutan Adat sampai saat ini belum ada peraturan pemerintahnya. Begitu pula dengan Pasal 67 yang mengatur tentang keberadaan keberadaan Masyarakat Hukum Adat belum juga dibuatkan peraturan pemerintahnya. Sebagaimana diketahui bahwa Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 telah mengatur tentang pengukuhan, keberadaan, dan hapusnya Masyarakat Hukum Adat yang tertuang dalam Pasal 67 tersebut.

Oleh karena peraturan pemerintah yang harus mengatur lebih lanjut tentang Masyarakat Hukum Adat ini belum ada, maka ketentuan tersebut harus segera dibuat. Hal ini sangat penting mengingat masih ada daerah-daerah seperti Propinsi Riau dan beberapa Propinsi lain yang masih memegang tradisi adat pada sebagian masyarakatnya. Apabila peraturan pemerintahnya tidak segera dibuat, maka hampir dapat dipastikan akan terjadi masalah dengan masyarakat di kemudian hari. Pasal 39 dan Pasal 67 ayat (3) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tersebut merupakan Amanat Undang-Undang, oleh karena itu amanat ini harus dilaksanakan.

Selain itu Menteri Kehutanan baru-baru ini juga telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. 58/ Menhut-II/ 2009 tentang Penggantian Nilai Tegakan Dari Izin Pemanfaatan Kayu dan Atau Dari Penyiapan Lahan Dalam Hutan Tanaman. Meskipun peraturan ini dalam konsiderannya mengacu kepada Undang-Undang No. 41 Tahun 1999, namun ternyata peraturan itu menyimpang dari Pasal 35 undang-undang tersebut.   Oleh karena itu peraturan menteri ini termasuk peraturan yang cacat hukum, dan kalau dipaksakan dapat berdampak negatif. Berkaitan dengan hal-hal di atas, kiranya Menteri Kehutanan harus lebih teliti dan berhati-hati lagi dalam setiap kali mengeluarkan peraturan. Semoga.

Pekanbaru, November 2009

 

Ir. Abdul Gafar Santoso

Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Hidup