Pemerhati Kehutanan

Peduli, Berbagi, dan Menghargai, Alam Indonesia

Kategori: Hukum

Sekali lagi tentang Sopir Angkutan Kayu dan Sopir Mercy


Sekali lagi tentang Sopir Angkutan Kayu dan Sopir Mercy


Dalam tulisan saya yang lalu telah saya gambarkan betapa berbedanya nasib sopir angkutan kayu dibandingkan dengan sopir Mercy yang ibarat langit dan bumi. Betapa tidak, Sopir angkutan kayu legalitas kayunya ditentukan oleh faktur angkutan kayu dan Sopir Mercy legalitas Mercynya ditentukan oleh STNK mobilnya. Nasib keduanya berbeda jauh manakala masa berlakunya faktur dan STNK terlewatkan. Bagi kayu yang masa berlakunya faktur telah lewat tiga hari harus disidang di Pengadilan dengan vonis satu tahun enam bulan penjara ditambah denda dan biaya perkara. Sedangkan untuk sopir Mercy sama sekali tidak dipenjara karena cukup membayar tilang dan bayar denda keterlambatan STNK saja.

Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa perlakuan terhadap faktur dan STNK bias berbeda yang berakibat nasib sopirnya berbeda?

Pada kasus yang pernah terjadi, kayu akasia yang diangkut Sopir tersebut sah menurut hukum karena berasal dari areal IUPHHK-HTI. Dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 Pasal 38 ayat (4) bahkan ditetapkan bahwa: Tanaman yang dihasilkan dari IUPHHK pada HTI merupakan asset pemegang izin usaha, dan dapat dijadikan agunan sepanjang izin usahanya masih berlaku. Dari Pasal 28 ayat (4) PP No. 6 Tahun 2007 ini dapat disimpulkan bahwa kayu hasil tanaman merupakan milikn perusahaan. Jadi walaupun fakturnya telah terlewati masa berlakunya, sepanjang jenis dan volume kayunya sama dengan yang tertera dalam faktur seharusnya tidak dapat membatalkan keabsahan kayu tersebut. Sebaliknya mobil Mercy yang STNK-nya telah terlewati masa berlakunya, maka mobil tersebut juga tidak akan diperlakukan sebagai barang illegal (mobil curian).

UU Kehutanan sendiri dalam penjelasan Pasal 50 ayat (2) huruf h menyatakan:

Yang dimaksud dengan “dilengkapi bersama-sama” adalah bahwa pada setiap pengangkutan, penguasaan, pemilikan hasil hutan, pada waktu dan tempat yang sama, harus disertai dan dilengkapi surat-surat yang sah sebagai bukti.

Apabila antara isi dokument surat keterangan sahnya hasil hutan tersebut tidak sama dengan keadaan fisik baik jenis, jumlah, maupun volumenya, maka hasil hutan tersebut dinyatakan tidak mempunyai surat-surat yang sah sebagai bukti.

Penjelasan Pasal 50 ayat (2) huruf h tersebut di atas sama sekali tidak menyatakan perihal masa berlakunya surat keterangan sahnya hasil hutan sebagai salah satu faktor penentu sah tidaknya hasil hutan yang bersangkutan. Penjelasan Pasal 50 ayat (2) huruf h tersebut di atas hanya menyatakan bahwa: pada waktu dan tempat yang sama keadaan fisik hasil hutan baik jenis, jumlah, maupun volumenya, harus sama dengan yang tertera dalam surat keterangan sahnya hasil hutan tersebut agar hasil hutan tersebut dinyatakan sah. Sebagai contoh misalnya: pada tanggal 10 Januari 2010 ditemukan si Bulan mengangkut kayu meranti tiga potong, kayu balam empat potong, dan kayu punak enam potong. Dari pemeriksaan ternyata jenis kayunya sama persis antara fisik dengan isi dokumen surat keterangan sahnya hasil hutan. Begitu juga dengan jumlah maupun volume masing-masing potongan kayu juga sama. Jadi kayu-kayu tersebut seharusnya sah menurut UU.

Pertanyaan selanjutnya: apabila keadaan fisik hasil hutan tersebut sama persis dengan isi dokumen, akan tetapi masa berlakunya dokumen hasil hutan tersebut telah terlewati, peraturan mana yang dilanggar?

Untuk pertanyaan tersebut saya berpendapat bahwa si Bulan sama sekali tidak melanggar UU. Karena tidak melanggar UU, seharusnya si Bulan tidak dapat dipidana penjara. Seharusnya kepada si Bulan hanya dikenai sanksi administratif saja. Hal ini serupa dengan sopir Mercy yang STNK mobilnya telah terlewati masa berlakunya oleh Hakim hanya didenda tilang dan didenda waktu mengurus perpanjangan STNK. Berdasarkan peraturan perundang-undangan, seseorang dipidana manakala dia terbukti telah melanggar UU. Bahkan seseorang yang melanggar PP saja hanya dikenai sanksi administratif saja, apalagi kalau hanya melanggar Peraturan Menteri.

Untuk itu seharusnya peraturan perundang-undangan tata usaha kayu atau hasil hutan pada umumnya perlu dilakukan reformasi. Diakui atau tidak perundang-undangan yang terkait dengan tata usaha kayu kita sebagian besar masih bernafaskan peraturan jaman kolonial. Kata-kata dikuasai oleh Negara atas sumber daya alam tidak seharusnya menghapus hak-hak pribadi. Hasil Hutan termasuk kayu apabila diperoleh secara sah dan telah dibayar semua kewajibannya kepada Negara (PSDH, DR, dan sebagainya) dan telah disertai dan dilengkapi dokumen secara benar haruslah dinyatakan sebagai hak pribadi yang sah dari pemiliknya atau yang menguasai atau yang mengangkutnya.

Di masa lalu, hutan hanya diurus dan dikelola oleh Negara dari sejak jaman penjajahan, lalu oleh Jawatan Kehutanan, kemudian oleh Departemen Pertanian. Setelah dibentuk PN Perhutani di Jawa yang kemudian menjadi Perum Perhutani dan Perusahaan Kehutanan Negara di Kalimantan yang kemudian menjadi PT Inhutani dan akhirnya meluas pula ke Sumatera. BUMN-BUMN tersebut diberikan tugas dan wewenang mengelola hutan-hutan selain Pemerintah Daerah. Jadi wajar kalau hasil hutan waktu itu sepenuhnya dikuasai oleh Negara. Akan tetapi setelah adanya hak pengelolaan hutan yang diberikan kepada perorangan dan badan-badan usaha, bahkan hutan rakyat atau hutan milik yang berkembang luas, bagaimana mungkin tata usaha kayunya masih saja bernafaskan peraturan masa lalu.

Coba saja Polisi atau Jaksa atau Hakim yang pernah menangani kayu-kayu milik yang dokumen keabsahan kayunya telah kadarluarsa dan divonis hukuman penjara, juga memiliki kayu dari hasil tanaman sendiri. Sebagai hamba hukum saya yakin kalau mereka mau memanfaatkan kayu-kayu hasil hutan tanamannya sendiri, mereka pasti mengurus izin pemanfaatannya kepada pihak yang berwenang. Nah kalau karena sesuatu sebab masa berlaku dokumennya telah kadarluarsa (misalkan terlewat 10 hari), apakah yang bersangkutan juga merasa patut dipidana penjara dan kayunya disita? Saya yakin beliau-beliau itu pasti akan bersiteguh bahwa: kayu-kayu ini milik pribadi saya, bukan dari mencuri punya orang lain apalagi dari hutan Negara. Ini hasil tanaman sendiri, mengapa harus disita dan harus dipidana penjara, dan berbagai argumentasi lainnya.

Contoh lain misalnya ada Polisi atau Jaksa atau Hakim yang tinggal di Medan atau Padang membeli kayu jati dari Perum Perhutani di Cepu. Kayu jati tersebut kemudian diangkut ke Medan atau Padang. Sudah barang tentu kayu-kayu tersebut dilengkapi dengan FA-KB untuk keabsahan kayu-kayunya. Andaikata masa berlakunya FA-KB kayu-kayu tersebut ditetapkan 15 hari, akan tetapi karena berbagai hambatan di jalan, begitu sampai di Jambi ternyata dari hasil pemeriksaan FA-KBnya telah terlambat dua hari. Apabila FA-KB tersebut belum ada legalitas dari pejabat yang berwenang yang menyatakan bahwa telah terjadi keterlambatan akibat hambatan dijalan dan diberikan perpanjangan masa berlaku FA-KB tersebut, maka kayu-kayu tersebutberdasarkan pengalaman selama ini pasti dinyatakan sebagai kayu illegal. Akibatnya sopir dipidana penjara, kayu dan kendaraan pengangkut disita.

Pertanyaannya: Bagaimana sikap Polisi atau Jaksa atau Hakim yang memiliki kayu-kayu tersebut?

Saya hanya ingin mengetuk hati nurani pihak-pihak yang berwenang menyiapkan peraturan perundang-undangan dan aparat penegak hukum utamanya, tolonglah dengan jernih pikirkan lagi perundang-undangan tata usaha kayu dan hasil hutan yang selama ini. Telaah kembali proses dan hasil persidangan kasus-kasus kehutanan selama ini dari sejak penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga dijatuhkannya vonis Pengadilan. Semoga tulisan ini ada manfaaatnya.

Pekanbaru, November 2010

 

Ir. Abdul Gafar Santoso

Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan

Surat Terbuka untuk Para Bupati (Khusus untuk Bupati Luar Jawa)


Surat Terbuka untuk Para Bupati
(Khusus untuk Bupati Luar Jawa)

 

Bapak Bupati yth,

Ketika Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang diundangkan pada tanggal 27 April 2007 lalu, banyak Bupati yang khawatir karena banyak desa di wilayahnya yang berada dalam kawasan hutan. Kekhawatiran ini sebenarnya tidak perlu terjadi manakala bupati tersebut memahami tata hubungan antara desa dan hutan.

Berkenaan dengan adanya kesalahan pemahaman mengenai tata hubungan antara desa dengan hutan tersebut, saya ingin mengingatkan kembali bahwa pengertian yang benar adalah bahwa di dalam desa ada hutan (di dalam desa terdapat kawasan hutan). Oleh karena itu, apabila ada yang mengatakan bahwa ada desa di dalam kawasan hutan, maka pemahamannya jelas salah. Mengapa salah? Hal ini didasarkan pada sistem ketatanegaraan kita bahwa desa merupakan bagian dari suatu negara. Sementara itu hutan hanyalah salah satu isi dan kekayaan alam yang menjadi modal dasar bagi kehidupan dan pembangunan suatu bangsa / negara, termasuk desa yang memiliki hutan tersebut.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, dan dengan memperhatikan pasal 85 s/d pasal 91 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan, seyogyanya para Bupati perlu segera menginventarisasi desa-desa di wilayahnya yang memiliki kawasan hutan.

Apabila dalam kenyataannya pada saat ini masih ada kawasan hutan yang belum dibebani dengan hak-hak Izin Usaha Pemanfaatan Hutan, sebaiknya para Bupati segera mengusulkan kepada Menteri Kehutanan untuk menetapkannya sebagai areal kerja hutan desa, sebagaimana diatur dalam Pasal 86 Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tersebut.

Usulan tersebut satu dan lain hal dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan terjadinya kesalahan para pejabat di lingkungan kabupaten yang memiliki kewenangan menerbitkan izin terkait dengan penggunaan lahan (terutama para Kepala Desa yang sering mengeluarkan Surat Keterangan Tanah yang biasa disebut SKT). Dalam hal ini saya ingin mengingatkan kembali tentang adanya Sanksi Pidana bagi setiap pejabat yang berwenang menerbitkan izin sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (7) dan Pasal 73 Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tersebut.

Di lain pihak, dengan adanya hutan desa, maka masyarakat desa yang bersangkutan akan lebih bertanggung jawab atas kelestarian hutan di wilayahnya dan diharapkan akan dapat membantu pembangunan kesejahteraan masyarakat desa tersebut.

Dengan demikian diharapkan akan terjadi pula pemerataan kesejahteraan masyarakat secara lebih adil lagi.

Demikian, semoga Bapak-Bapak Bupati memakluminya.

Pekanbaru, November 2010

 

Ir. Abdul Gafar Santoso

(Pemerhati Lingkungan)

Amanat Undang-Undang Kehutanan Yang Terabaikan


Amanat Undang-Undang Kehutanan Yang Terabaikan


Dalam Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan telah ditetapkan beberapa Pasal terkait dengan Hutan Adat dan Masyarakat Hukum Adat. Ketentuan-ketentuan tentang hutan adat dan atau masyarakat hukum adat tersebut terdapat dalam Pasal 1, Pasal 5, Pasal 37, Pasal 39, dan Pasal 67, undang-undang dimaksud.

Dalam Pasal 1 angka 6 dinyatakan bahwa hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Selanjutnya dalam Pasal 5 yang terdiri atas empat ayat berbunyi:

(1)   Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari:

a. hutan Negara, dan

b. hutan hak.

(2)   Hutan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat berupa hutan adat.

(3)   Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.

(4)   Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada pemerintah.

Selanjutnya dalam Pasal 37 ditetapkan bahwa:

(1)   Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan sesuai dengan fungsinya.

(2)   Pemanfaatan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya.

Dalam Pasal 39 dinyatakan bahwa:

Ketentuan pelaksanaan tentang pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, Pasal 29, Pasal 34, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 67 Undang-Undang Kehutanan mengatur sebagai berikut:

(1)   Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaanya berhak:

  1. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
  2. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan
  3. Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.

(2)   Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

(3)   Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Berkenaan dengan Pasal 39 dan Pasal 67 ayat (3) yang mengamanatkan bahwa ketentuan lebih lanjut atas Pasal 37 dan Pasal 67 ayat (1) dan ayat (2) tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah, maka amanat tersebut mau atau tidak mau harus tetap dilaksanakan.

Dengan adanya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (3) tersebut di atas, Peraturan Daerah sebagai dasar penetapan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum  adat tidak akan bisa dibuat, sepanjang Peraturan Pemerintahnya belum ada. Diakui atau tidak, saat ini telah banyak terjadi sengketa antara masyarakat hukum adat yang merasa masih eksis dengan para pemegang izin dibidang kehutanan yang areal kerjanya berada dalam wilayah masyarakat hukum  adat yang bersangkutan.

Yang patut disesalkan dalam hal ini adalah pihak-pihak yang dahulu memperjuangkan dimasukkannya pasal-pasal tentang hutan adat dan masyarakat hukum adat ini dalam Undang-Undang Kehutanan namun kemudian mengabaikan kelanjutan perjuangannya. Seyogyanya, alangkah lebih mulianya beliau-beliau ini apabila perjuangan beliau-beliau tersebut tidak hanya berhenti sampai dengan dimasukannya usul-usul tersebut, tetapi juga dapat mengawalnya hingga tuntas. Hingga kini, setelah lebih dari sepuluh tahun sejak diundangkannya Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tersebut, peraturan pemerintah yang mengatur tentang hutan adat dan masyarakat hukum adat belum juga dibuat.

Untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, seyogyanya amanat Undang-Undang Kehutanan tersebut di atas harus segera dibuat dan ditetapkan. Bagaimanapun, Pemerintah seharusnya “amanah”, artinya menjalankan dengan sebaik-baiknya amanat yang ditugaskan dalam undang-undang sebagai wujud rasa tanggung jawabnya.

Pekanbaru,   April 2010

 

Ir. Abdul Gafar Santoso

Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan

ANTARA PEMBANGUNAN HTI DAN REKLAMASI BEKAS TAMBANG


ANTARA PEMBANGUNAN HTI DAN REKLAMASI BEKAS TAMBANG


Dahulu ketika masih menjabat sebagai Menteri Negara Pengawas Pembangunan dan Lingkungan Hidup, Prof. Emil Salim pernah mengatakan kalau pembangunan di Indonesia ini ibarat sambil berlayar membuat kapal. Karena waktu itu masih muda, maka menimpalinya dengan Ya Pak, seperti sambil berlari pakai celana. Setelah hampir 30 tahun kemudian, kondisinya sudah jauh lebih maju, akan tetapi masih juga mirip-mirip perumpamaan itu. Bedanya barang kali kalau sekarang ini perumpamaannya adalah sambil berlayar memperbaiki kapal bocor. Memang pembangunan harus jalan terus kalau tidak ingin kehilangan momentum. Itulah sebabnya kapal pembangunan tetap harus berlayar, tidak perlu berhenti untuk memperbaiki kapal karena kapal harus sampai tujuan sesuai komitmen.

Dalam kerangka menjalankan roda pembangunan tentulah banyak peraturan perundang-undangan yang harus dipersiapkan. Memang tidak mudah, itulah sebabnya maka seringkali kita jumpai adanya peraturan yang kurang tepat sehingga perlu direvisi. Sementara peraturan perundang-undangan tersebut diperbaiki, bukan berarti kegiatan pembangunan harus berhenti. Pembangunan harus jalan terus. Mengingat pembangunan harus jalan terus, sementara awak kapal bahkan nahkodanya harus sering diganti, maka nahkoda dan awak kapal harus pandai-pandai menjalankan kapalnya.

Pembangunan kehutanan yang saat ini dinahkodai oleh Menteri Kehutanan juga dituntut untuk professional. Peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan di Republik ini memang bukan main banyaknya. Dari sejak zaman kolonial hutan dan kehutanan sudah diatur dengan peraturan perundang-undangan. Sebagian, bahkan mungkin sebagian besar peraturan perundang-undangan tersebut diadopsi oleh pemerintah kita (tentunya dengan penyesuaian-penyesuaian). Karena begitu banyaknya peraturan, sementara pada saat yang bersamaan juga dibuat peraturan-peraturan baru, oleh orang-orang yang baru pula, maka kemungkinan kontradiksi antara satu peraturan dengan peraturan yang lain dapat saja terjadi, terutama dengan peraturan yang lalu yang masih berlaku.

Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia sebenarnya telah ada sejak ratusan tahun lalu. Tanaman jati mungkin merupakan salah satu jenis tanaman HTI pertama yang dikenal di Indonesia terutama di Jawa. Ketika bangsa Belanda menjajah negara kita, hutan jati yang luas di Jawa kemudian dikelola oleh perusahaan Belanda, dan selanjutnya oleh Jawatan Kehutanan. Untuk itu pengelolaan dan pemanfaatan kayu jati kemudian diatur dengan peraturan perundang-undangan Belanda.

Setelah Indonesia merdeka, peraturan-peraturan itu sebagian masih digunakan walaupun kemudian dilakukan penyesuaian-penyesuaian. Dari sejarah kehutanan kita selama ini, HTI secara resmi baru diatur tahun 1990 dengan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1990 yang mengacu pada UU No. 5 Tahun 1967. Setelah UU No. 5 Tahun 1967 dicabut dan diganti dengan UU No. 41 Tahun 1999, ketentuan tentang HTI ini juga dilakukan perubahan. Bahkan sebelum diundangkannya UU No. 41 Tahun 1999, telah ada PP baru yang mengatur tentang HTI, yaitu PP No. 6 Tahun 1999.

Selanjutnya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang HTI ini dibuat silih berganti. Pro dan kontra pelaksanaannya pun bermunculan. Munculnya pro dan kontra pembangunan HTI ini tidak terlepas dari ketidak-tepatan peraturan pelaksanaan yang tidak sesuai dengan undang-undangnya. Dari sejak Keputusan Menteri Kehutanan No. 10.1/Menhut-II/2000 hingga Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007, ketentuan tentang HTI kurang sesuai dengan bunyi ketentuan UU No. 41 Tahun 1999. Oleh karena itu dikeluarkanlah PP No. 3 Tahun 2008 agar benar-benar sesuai dengan UU No. 41 Tahun 1999. Mudah-mudahan dengan adanya PP No. 3 Tahun 2008 itu pro dan kontra tersebut semakin hilang. Kalau toh masih ada juga, maka pihak-pihak yang mempermasalahkannya pastilah mempunyai kepentingan tertentu. Walaupun demikian, dengan adanya tumpang-tindih peraturan perundang-undangan yang begitu banyak bukan tidak mungkin masih akan ada juga masalah.

Berdasarkan pengalaman dan fakta di lapangan, keberhasilan pembangunan HTI saat ini tidak lagi diragukan. Karena, sebenarnya menanam di areal HTI itu tidaklah sulit. Dengan HTI yang semakin baik hasil dan kualitasnya dari waktu ke waktu, maka fungsi hutan juga akan semakin mantap. Di sisi lain sebenarnya dengan pelaksanaan HTI, kawasan hutan menjadi makin terjaga. Pemegang izin HTI akan menjaga dengan baik areal kerjaannya, lebih-lebih yang telah berupa tanaman. Oleh karena itu, selayaknyalah apabila kepada pemegang izin HTI yang bersangkutan diberikan apresiasi.

Terkait dengan kegiatan di luar kehutanan terutama kegiatan pertambangan, kiranya pemerintah perlu lebih berhati-hati. Akhir-akhir ini kekhawatiran terhadap kegiatan pertambangan yang lokasinya berada dalam kawasan hutan semakin terbukti. Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2008 yang mengisyaratkan adanya tarif pengusahaan lahan untuk kegiatan pertambangan terbuka horizontal dalam kawasan hutan lindung sungguh memprihatinkan. Penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan dengan tarif yang relatif rendah di satu sisi dan lemahnya sanksi apabila reklamasi bekas tambang gagal atau bahkan tidak dilakukan sangat terbuka. Walaupun telah ada ketentuan tentang kewajiban pemegang izin pertambangan menyediakan dana jaminan reklamasi, terlaksananya kegiatan reklamasi hutan belum tentu terjadi.

Reklamasi hutan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 76 Tahun 2008 adalah usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar dapat brfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya. Hutan bekas tambang terbuka horizontal pada umumnya memang kondisinya rusak. Oleh karena itu upaya untuk memulihkan kembali lahan yang rusak ini sangat sulit. Untuk itu diperlukan teknik rehabilitasi lahan dan konservasi tanah yang rumit, mahal, penuh ketelitian dan kesabaran. Selain itu perlu dipersiapkan dengan seksama bibit-bibit tanaman pionir dalam jumlah yang banyak. Bibit-bibit siap tanam ini dihasilkan dengan menggunakan media yang mampu menopang kehidupan bibit dalam jangka waktu yang cukup lama untuk hidup di dalam kondisi yang ekstrim.

Lapangan yang akan ditanami juga harus dipersiapkan lubang-lubang tanamannya dengan baik. Selanjutnya lubang tanaman diisi dengan media seperti yang digunakan untuk media sapih bibit yang akan ditanam. Selain berupa jenis pionir, seyogyanya tanaman tersebut juga merupakan jenis yang menghasilkan biji-biji yang berkemampuan tumbuh secara alami begitu jatuh di atas tanah.

Berdasarkan peraturan pemerintah tersebut di atas pelaksanaan reklamasi hutan bekas pertambangan dilakukan oleh pemegang izin pertambangan berdasarkan rencana reklamasi yang telah disetujui pejabat yang berwenang. Pengembalian kawasan hutan bekas pertambangan ini sangat bergantung kepada keberhasilan reklamasinya. Namun dalam peraturan pemerintah tersebut terdapat ketentuan yang merisaukan yaitu pasal 49 ayat (4) yang berkaitan dengan tata cara pelepasan dana jaminan reklamasi. Mungkinkah ketentuan ini bermakna: Silahkan tinggalkan bekas tambang, biarlah pemerintah yang melaksanakan reklamasi dengan dana jaminanmu itu.

Pekanbaru,   Maret 2010

 

Ir. Abdul Gafar Santoso

DESA DARI SUDUT PANDANG PENATAAN RUANG DAN KEHUTANAN


DESA DARI SUDUT PANDANG PENATAAN RUANG DAN KEHUTANAN


Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang telah mengamanatkan bahwa penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional. Salah satu kewajiban dalam penataan ruang terwujudnya tata ruang. Untuk itu, sudah barang tentu diperlukan perencanaan tata ruang yaitu suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan tata ruang. Hasil perencanaan tata ruang berupa rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang. Rencana rinci tata ruang pada hakekatnya merupakan perangkat operasional rencana umum tata ruang. Wujud dari rencana tata ruang tersebut meliputi rencana sistem pusat pemukiman, rencana sistem jaringan prasarana, dan rencana peruntukan kawasan lindung dan kawasan budi daya.

Propinsi Riau dalam rangka mewujudkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), telah mempersiapkan RTRWP Riau. Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, RTRWP ini harus mengacu kepada RTRWN. Hal yang sama sudah barang tentu harus dilakukan oleh para pemerintah kabupaten/kota yaitu menyiapkan RTRW Kabupaten/Kota masing-masing yang harus mengacu kepada RTRWP.

Ada kekhawatiran dari beberapa Bupati di Provinsi Riau, karena merasa banyak desanya yang berada dalam kawasan hutan. Kekhawatiran ini dipicu oleh adanya paradigma yang keliru tentang hubungan antara desa dan hutan.

Secara fisik hutan di Provinsi Riau tersebar sangat luas, dan pada wilayah tertentu hutan ini mendominasi wilayah kabupaten yang bersangkutan. Hal ini membuat Bupati yang bersangkutan khawatir dengan desa-desanya yang seolah-olah berada dalam kawasan hutan. Akan tetapi RTRW sebagai hasil penataan ruang berdasarkan wilayah administrasi meliputi rencana struktur dan pola tata ruang (Pasal 26). Dengan demikian RTRW merupakan wadah bagi rencana sistem pusat pemukiman, rencana sistem jaringan prasarana, dan rencana peruntukan kawasan lindung dan kawasan budi daya.

Oleh karena itu desa sebagai bagian dari wilayah administrasi kabupaten juga merupakan wadah bagi kawasan-kawasan termasuk kawasan lindung dan kawasan budidaya. Hutan lindung dan hutan konservasi sebagai salah satu unsur kawasan budidaya merupakan bagian dari wilayah desa. Dengan demikian, tidaklah benar jika ada yang berpendapat bahwa di dalam hutan ada desa, sebab yang benar adalah di dalam desa ada hutan. Namun mengingat kelompok hutan di Provinsi Pekanbaru begitu luasnya, maka sangat dimungkinkan ada desa-desa yang wilayahnya didominasi oleh hutan, baik itu hutan lindung, hutan konservasi, maupun hutan produksi.

Apabila dalam Undang-undang No. 26 Tahun 2007 telah ditetapkan bahwa ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota, maka bukan tidak mungkin luas kawasan hutan suatu desa dapat mencapai lebih dari 70 (tujuh puluh) persen dari luas wilayah desa yang bersangkutan. Kondisi seperti ini tidak perlu dikhawatirkan, sebab yang terpenting adalah bagaimana desa yang bersangkutan dapat memperoleh manfaat dari hutan di wilayahnya untuk kesejahteraan masyarakat desa yang bersangkutan secara lestari. Walaupun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa sampai saat ini perizinan pemanfaatan hutan masih lebih banyak ditetapkan oleh pemerintah pusat, di samping fungsi hutan itu sendiri juga semakin menjadikan faktor pembatas bagi desa. Peluang memanfaatkan hutan konservasi hampir-hampir tidak terbuka bagi masyarakat desa. Akan tetapi hutan lindung masih membuka peluang lebih jika dibandingkan dengan hutan konservasi. Peluang terbesar bagi masyarakat desa untuk mewujudkan kesejahteraannya dari pemanfaatan hutan berasal dari hutan produksi. Masalahnya adalah, sejauh mana peluang itu diberikan oleh pemerintah dan sejauh mana masyarakat desa yang bersangkutan mampu mengelola izin pemanfaatan hutan tersebut secara baik dan lestari.

Pengelolaan hutan desa oleh masyarakat desa yang bersangkutan dalam rangka pemberdayaan masyarakat setempat perlu digalakkan. Pengembangan hutan tanaman rakyat (HTR) sebagai salah satu peluang telah diakomodasikan oleh pemerintah. Selain itu masih ada beberapa peluang lagi bagi keikutsertaan masyarakat dalam pemanfaatan hutan, diantaranya adalah izin usaha pemanfaatan kawasan (IUPK), izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan (IUPJL), izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (IUPHHBK), izin pemungutan hasil hutan kayu (IPHHK) dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu (IPHHBK), serta hutan kemasyarakatan.

Izin-izin tersebut di atas merupakan wewenang Bupati, kecuali izin untuk hutan tanaman rakyat. Oleh karena itu, kesejahteraan masyarakat desa hutan juga sangat ditentukan oleh seberapa jauh Bupati mampu melihat peluang itu dan memanfaatkannya. Sayangnya sosialisasi peraturan perundang-undangan kehutanan ini boleh dikata sangat minimal, sehingga kebanyakan kepala desa tidak tahu mengenai peluang untuk pemanfaatan hutan bagi kesejahteraan masyarakatnya sesuai perundang-undangan yang berlaku.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007, pengelolaan hutan desa hanya dapat diberikan pada hutan lindung dan hutan produksi. Penetapan hutan desa ini oleh Menteri berdasarkan usulan Bupati, sesuai dengan kriteria dan rencana pengelolaan kesatuan pengelolaan hutan setempat. Hak pengelolaan hutan desa ini diberikan kepada lembaga desa. Mengingat pemanfaatan hutan desa tergantung pada fungsi hutan, maka rencana pengelolaannya juga harus disesuaikan dengan fungsi hutan tersebut. Untuk hutan lindung, meliputi kegiatan pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Untuk hutan produksi, meliputi kegiatan pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.

Semua hal di atas dapat dilaksanakan desa-desa yang bersangkutan, sepanjang aparat desa dan lembaga desa yang akan mengelola hutan desa memahami dengan benar ketentuan perundang-undangan yang berlaku untuk itu. Selain itu, fasilitasi juga harus dilakukan oleh pemerintah kabupaten yang bersangkutan. Hal ini hanya bisa dilakukan apabila pemerintah kabupaten memahami semua aspek yang diperlukan dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan hutan desa secara lestari. Semua ketentuan yang berkaitan dengan pengelolaan hutan desa ini diatur dengan peraturan menteri, akan tetapi sayangnya sepengetahuan penulis, peraturan tersebut saat ini belum ada.

Pekanbaru,   Maret 2010

 

Ir. Abdul Gafar Santoso

Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Hidup

DAMPAK PERATURAN KEHUTANAN


DAMPAK PERATURAN KEHUTANAN


Baru-baru ini pemerintah telah merilis belasan analisis mengenai dampak peraturan. Peraturan yang cermat dan tepat karena telah memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa mendatang mungkin dampak negatifnya cukup kecil. Namun sebaliknya jika peraturan yang dibuat tidak cermat bahkan keliru, maka dampaknya akan sangat besar. Khusus mengenai peraturan di sektor kehutanan, dampak negatif tersebut telah pernah terjadi karena aturan pelaksanaannya keliru atau tidak berlandaskan kepada undang-undangnya. Setidak-tidaknya telah terjadi dua kali kecelakaan sejarah kehutanan dalam dua dekade terakhir ini akibat lemahnya peraturan perundang-undangan.

Di awal tahun delapan puluhan kecelakaan sejarah kehutanan terjadi ketika program penghijauan dan reboisasi sedang digencarkan. Kecelakaan sejarah seperti itu kembali terulang ketika program pengembangan hutan tanaman industri digalakan 20 tahun kemudian. Kedua kecelakaan sejarah kehutanan tersebut terjadi sebagai dampak dari peraturan pelaksanaan yang menjadi dasar hukumnya keliru atau menyimpang dari ketentuan dalam undang-undangnya.

Pada kasus reboisasi banyak pejabat kehutanan terpaksa berhadapan dengan sidang pengadilan. Hal ini terjadi karena hal-hal yang sangat teknis diatur sangat detail dalam peraturan-peraturan perundang-undangannya. Sementara itu peraturan-peraturan pelaksanaan kegiatan hutan tanaman industri tidak secara tepat mengikuti undang-undang kehutanan.

Dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang diundangkan pada tanggal 30 September 1999, kegiatan pembangunan hutan tanaman diatur dalam Pasal 28. Pembangunan hutan tanaman merupakan salah satu kegiatan pemanfaatan hasil hutan pada hutan produksi. Hal ini secara jelas dicantumkan pada penjelasan Pasal 28 ayat (1) alinea 3 yang berbunyi: Pemanfaatan hasil hutan pada hutan produksi dapat berupa usaha pemanfaatan hutan alam dan usaha pemanfaatan hutan tanaman.

Selanjutnya pada alinea ke empat penjelasan Pasal 28 ayat (1) tersebut pada kalimat kedua berbunyi: Usaha pemanfaatan hutan tanaman diutamakan dilaksanakan pada hutan yang tidak produktif dalam rangka mempertahankan hutan alam.

Berkaitan dengan ketentuan dalam Pasal 28 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tersebut, Menteri Kehutanan menerbitkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 10.1/ Kpts-II/ 2000 tentang Pedoman Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman pada tanggal 6 November 2000. Dalam Pasal 3 Keputusan Menteri tersebut ditetapkan:

(1)   Areal hutan yang dapat dimohon untuk Usaha Hutan Tanaman adalah areal kosong di dalam kawasan hutan produksi dan/ atau areal hutan yang akan dialih fungsikan menjadi kawasan Hutan Produksi serta tidak dibebani hak-hak lain.

(2)   Dalam hal alih fungsi kawasan hutan menjadi kawasan hutan produksi, maka prosedurnya harus berkoordinasi dengan DPRD dan disetujui Menteri atas rekomendasi Gubernur.

(3)   Keadaan topografi dengan kelerengan maksimal 25%, dan topografi pada kelerengan 8% sampai dengan 25% harus diikuti dengan upaya konservasi tanah.

(4)   Keadaan vegetasi berupa non hutan (semak belukar, padang alang-alang dan tanah kosong) atau areal bekas tebangan yang kondisinya rusak dengan potensi kayu bulat berdiameter 10 cm untuk semua jenis kayu dengan kubikasi tidak lebih dari 5m3 per hektar.

Ketentuan-ketentuan tersebut di atas tidak sepenuhnya mengacu pada Pasal 28 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 khususnya mengabaikan kata “diutamakan” sebagaimana tertuang dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 pada alinea ke empat. Celakanya, ketentuan dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 10.1/ Kpts-II/ 2000 tersebut diambil-alih lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut, Pasal 30 ayat (3) menetapkan bahwa usaha pemanfaatan hasil hutan pada hutan tanaman, dilaksanakan pada lahan kosong, padang alang-alang dan atau semak belukar di hutan produksi.

Diabaikannya kata “diutamakan” dalam peraturan pelaksanaan Pasal 28 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tersebut ternyata telah menimbulkan dampak yang sangat serius yaitu terhentinya aktivitas pembangunan hutan tanaman industri di Propinsi Riau bahkan nyaris selama tiga tahun. Dampak lebih lanjut dari terhentinya pembangunan hutan tanaman industri adalah tidak tercapainya program pemerintah. Hal ini terjadi karena dalam proses penegakan hukum upaya pemberantasan illegal logging, pembangunan hutan tanaman industri dalam areal hutan rawang dianggap melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Ditinjau dari sudut pandang Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002 dan Keputusan Menteri Kehutanan No. 10.1/ Kpts-II/ 2000, pembangunan hutan tanaman industri di areal hutan rawang di Propinsi Riau jelas melanggar. Akan tetapi bila dikembalikan pada ketentuan Pasal 28 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 khususnya pada penjelasannya, pelaksanaan pembangunan hutan tanaman industri di Propinsi Riau ini tidak melanggar undang-undang. Hal ini terkait dengan kata “diutamakan” dari penjelasan Pasal 28 ayat (1) alinea ke empat Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 yang mengandung makna adanya pilihan. Berdasarkan penjelasan Pasal 28 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tersebut, sasaran utamanya adalah hutan yang tidak produktif. Namun demikian apabila sasaran utama ini tidak ada, maka sasaran lokasi pembangunan hutan tanaman industri dapat beralih ke sasaran lain yaitu hutan yang produktif.

Penempatan kegiatan pembangunan hutan tanaman di areal hutan yang produktif ini dimungkinkan, bila berdasarkan kajian ilmiah dan obyektif pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman lebih menguntungkan secara teknis, ekonomis, maupun sosiologis dibandingkan dengan pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam.

Selain itu pengertian hutan yang tidak produktif dalam Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002 maupun dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 10.1/ Kpts-II/ 2000 tersebut seolah-olah hanya tanah kosong, padang alang-alang, dan atau semak belukar saja. Hal ini tidak sesuai dengan ilmu kehutanan, karena dalam ilmu kehutanan hutan tidak produktif berupa antara lain tanah kosong, hutan bertumbuhan kurang, hutan rawang, tanaman gagal dan miskin riap. Termasuk kategori tanah kosong dalam ilmu kehutanan antara lain adalah padang alang-alang dan semak belukar.

Kesalahan atau kurang sesuainya Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002 dan Keputusan Menteri Kehutanan No. 10.1/ Kpts-II/ 2000 terhadap Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tersebut kemudian diperbaiki dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007. Dalam Pasal 38 ayat (3) peraturan pemerintah tersebut ditetapkan bahwa pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTI, dilakukan pada hutan produksi yang tidak produktif. Ketentuan ini pun ternyata masih belum sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999, sehingga direvisi kembali dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2008. Dalam Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2008 ini ditambahkan kata “diutamakan” agar sesuai dengan bunyi ketentuan dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999, sehingga berbunyi: Pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTI diutamakan pada kawasan hutan produksi yang tidak produktif. Bahkan dalam peraturan pemerintah ini diberikan pula penjelasan tentang hutan produksi yang tidak produktif tersebut.

Walaupun beberapa ketentuan telah mulai diperbaiki, namun pemerintah masih harus berhati-hati jika mengeluarkan peraturan. Masih ada ketentuan dari Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 yang belum ditindaklanjuti misalnya tentang Masyarakat Hukum Adat, Hutan Adat, dan Pemanfaatan Hutan Adat. Pasal 39 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 yang mengatur Pemanfaatan Hutan Adat sampai saat ini belum ada peraturan pemerintahnya. Begitu pula dengan Pasal 67 yang mengatur tentang keberadaan keberadaan Masyarakat Hukum Adat belum juga dibuatkan peraturan pemerintahnya. Sebagaimana diketahui bahwa Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 telah mengatur tentang pengukuhan, keberadaan, dan hapusnya Masyarakat Hukum Adat yang tertuang dalam Pasal 67 tersebut.

Oleh karena peraturan pemerintah yang harus mengatur lebih lanjut tentang Masyarakat Hukum Adat ini belum ada, maka ketentuan tersebut harus segera dibuat. Hal ini sangat penting mengingat masih ada daerah-daerah seperti Propinsi Riau dan beberapa Propinsi lain yang masih memegang tradisi adat pada sebagian masyarakatnya. Apabila peraturan pemerintahnya tidak segera dibuat, maka hampir dapat dipastikan akan terjadi masalah dengan masyarakat di kemudian hari. Pasal 39 dan Pasal 67 ayat (3) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tersebut merupakan Amanat Undang-Undang, oleh karena itu amanat ini harus dilaksanakan.

Selain itu Menteri Kehutanan baru-baru ini juga telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. 58/ Menhut-II/ 2009 tentang Penggantian Nilai Tegakan Dari Izin Pemanfaatan Kayu dan Atau Dari Penyiapan Lahan Dalam Hutan Tanaman. Meskipun peraturan ini dalam konsiderannya mengacu kepada Undang-Undang No. 41 Tahun 1999, namun ternyata peraturan itu menyimpang dari Pasal 35 undang-undang tersebut.   Oleh karena itu peraturan menteri ini termasuk peraturan yang cacat hukum, dan kalau dipaksakan dapat berdampak negatif. Berkaitan dengan hal-hal di atas, kiranya Menteri Kehutanan harus lebih teliti dan berhati-hati lagi dalam setiap kali mengeluarkan peraturan. Semoga.

Pekanbaru, November 2009

 

Ir. Abdul Gafar Santoso

Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Hidup

 

AWAS ADA UNDANG-UNDANG PENATAAN RUANG BERHATI-HATILAH


AWAS ADA UNDANG-UNDANG PENATAAN RUANG
BERHATI-HATILAH

>

Tanggal 27 April 2007 lalu telah diundangkan UU No. 26 Tahun2007 tentang Penataan Ruang. Sebagaimana diketahui dengan diundangkannya suatu undang-undang, maka setiap orang di Republik ini wajib mengetahui dan mematuhinya. Dalam setiap peraturan perundang-undangan pasti selalu ada diktum yang berbunyi: Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Diktum di atas selalu tercantum dalam Pasal terakhir UU. Untuk PP kata Undang-undang diganti dengan PP sehingga berbunyi: Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan PP ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ada pun pada Peraturan Menteri misalnya Peraturan Menteri Kehutanan, diktum tersebut berbunyi: Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Menteri Kehutanan ini diundangkan dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Seperti halnya Undang-Undang pada umumnya, dalam Undang-Undang Penataan Ruang ini diatur pula ketentuan pidana. Namun dalam Undang-Undang Penataan Ruang ini selain berlaku pada setiap orang, ketentuan pidana ini juga dapat menjerat setiap pejabat pemerintah. Ketentuan yang sangat spesifik ini sangat berbeda dengan Undang-Undang yang lain, karena secara khusus mengatur sanksi pidana dan denda yang tidak ringan kepada pejabat pemerintah yang melanggar. Dalam Pasal 73 UU No. 26 Tahun 2007 ini berbunyi:

(1)    Setiap pejabat pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin tidak sesuai dengan tata ruang sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 ayat (7), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(2)    Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya.

Ketentuan dalam pasal 73 tersebut di atas dapat dikenakan antara lain kepada pejabat kehutanan, perkebunan, pemda, pertambangan dan lain-lain yang berkaitan dengan perizinan pemanfaatan lahan. Oleh karena itu setiap pejabat pemerintah berkewajiban memahami dengan benar produk-produk UU yang terkait dengan Tata Ruang. Dalam kaitan ini saya sangat prihatin dengan peran Kepala Desa yang sering mengeluarkan Surat Keterangan Tanah (SKT). SKT yang diterbitkan sering kali bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu pihak yang berwenang berkewajiban untuk mensosialisasikan ketentuan tersebut kepada Kepala Desa dan agar mereka memahami peraturan perundang-undangan terkait serta harus lebih berhati-hati.

Sanksi pidana bagi pejabat pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 73 tersebut di atas bukan tidak mungkin dikaitkan pula dengan UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Hal ini sangat dimungkinkan jika izin yang diterbitkan pejabat yang bersangkutan terkait dengan kawasan hutan misalnya. Setiap kerugian Negara yang dapat dinilai dengan besaran rupiah hampir dapat dipastikan akan diperhitungkan untuk ganti ruginya. Dengan adanya kemungkinan-kemungkinan ini para pejabat pemerintah diharap tidak lagi dengan mudahnya mengeluarkan izin. Walaupun demikian kondisi seperti ini juga jangan dijadikan alasan untuk mempersulit perizinan.

Hal ini perlu untuk digarisbawahi, karena dalam kondisi biasa saja urusan perizinan dapat berlarut-larut, apalagi kalau penerbitan izin akan berakibat terkena sanksi pidana bagi yang menerbitkannya.

Undang-Undang Penataan Ruang ini merupakan salah satu Undang-Undang yang sangat tegas dan jelas. Cobalah Perhatikan Pasal 78 Undang-Undang ini.

(1)    Peraturan Pemerintah yang diamanatkan Undang-Undang ini diselesaikan paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan.

(2)    Peraturan Presiden yang diamanatkan Undang-Undang ini diselesaikan paling lambat 5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan.

(3)    Peraturan Menteri yang diamanatkan Undang-Undang ini diselesaikan paling lambat 5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan.

(4)    Dengan berlakunya Undang-Undang ini:

a. Peraturan Pemerintah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional disesuaikan paling lambat dalam waktu 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan;

b. Semua Peraturan Daerah Propinsi tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi disusun atau disesuaikan paling lambat dalam waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan; dan

c. Semua Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota disusun atau disesuaikan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan.

Pertanyaanya adalah apakah pelaksanaannya juga setegas ketentuannya?

Bagaimanapun Undang-Undang ini patut diacungi jempol karena ada Pembatasan Waktu Penyelesaian Peraturan Pelaksanaan Perundang-undangan, dari Peraturan Pemerintah sampai dengan Perda. Pada Undang-Undang yang lain misalnya Undang-Undang tentang Kehutanan, sampai sekarang pun Peraturan Pemerintah tentang Masyarakat Hukum Adat dan Pemanfaatan Hutan Adat belum juga ada, Amanat Undang-Undang ini diatur dalam Pasal 67 ayat (3) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 untuk Masyarakat Hukum Adat dan Pasal 39 untuk Pemanfaatan Hutan Adat. Bagaimana pun ini adalah Amanat Undang-Undang, apabila pemerintah sekarang beranggapan bahwa saat ini tidak ada lagi Masyarakat Hukum Adat di Indonesia, maka seyogyanya Undang-Undang itu diamandemen. Padahal pada kenyataannya, Masyarakat Hukum Adat di beberapa daerah masih ada, oleh karena itu Peraturan Pemerintah yang terkait dengan Masyarakat Hukum Adat dan Pemanfaatan Hutan Adat harus segera diselesaikan karena sudah 10-11 tahun Undang-Undang Kehutanan tersebut diberlakukan.

Pekanbaru, 01 Maret 2010

 

Ir. Abdul Gafar Santoso

Pemerhati Lingkungan

KEWAJIBAN MEMAHAMI PRODUK PERUNDANG-UNDANGAN


KEWAJIBAN MEMAHAMI PRODUK PERUNDANG-UNDANGAN


Ada beberapa orang yang merasa miris dengan beberapa produk perundang-undangan kita. Ada yang mengatakan pasal karet, atau aturan yang menunjukan betapa arogannya menteri dan sebagainya. Sebenarnya, banyak warga Negara kita yang tidak mengerti, sehingga tidak menyadari apa sebenarnya peran dan fungsi dirinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak hanya orang perorang saja yang merasa kurang memahami, pemerintah pun dapat keliru, dan semua itu berkewajiban untuk melakukan introspeksi dan koreksi.

Dahulu ketika saya masih menjadi pegawai negeri sipil, selalu ada pertanyaan dalam benak saya. Mengapa menteri ini selalu membuat peraturan dengan surat keputusan, dan mengapa menteri itu membuat peraturan dengan peraturan menteri. Sebagai contoh, dulu ada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) yang sangat terkenal, sementara menteri-menteri yang lain masih menggunakan surat keputusan. Waktu itu saya beranggapan bahwa peraturan menteri itu digunakan untuk produk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan publik, sedangkan surat keputusan merupakan produk aturan yang bersifat intern departemen yang bersangkutan (surat keputusan tentang pengangkatan pegawai ke dalam jabatan tertentu). Namun karena banyak surat keputusan yang juga mengatur hal-hal yang terkait dengan publik, maka saya pun merasa ragu. Pada akhirnya ternyata memang dibedakan juga di semua department / kementrian antara produk peraturan menteri dengan surat keputusan menteri.

Sesungguhnyalah setiap peraturan perundang-undangan itu sangat menghargai setiap orang. Cobalah perhatikan pasal terakhir undang-undang yang selalu berbunyi:
•    Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
•    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Kalimat tersebut di atas menunjukan bahwa setiap orang diberikan penilaian dan penghargaan yang sama. Semua orang baik pandai mau pun bodoh, kaya atau pun miskin, dan sebagainya diperlakukan sama. Setiap warga Negara di republik ini diwajibkan minimal mengetahui setiap undang-undang yang ada di republik ini. Persoalannya adalah, ada berapa banyak undang-undang di republik ini yang wajib diketahui. Yang pandai pun pasti tidak sanggup mengetahui semuanya, apalagi yang bodoh. Tapi itulah undang-undang, setiap orang seperti telah diwajibkan agar mengetahui setiap undang-undang yang ada. Nah, kalau tidak tahu dan melanggar, bagaimana? Itulah nasib kata orang.

Bagaimana dengan sosialisasi peraturan perundang-undangan di negeri ini? Semestinya pihak-pihak yang paling bertanggung-jawab wajib melakukan sosialisasi dengan gencar. Namun sepertinya sosialisasi ini sangat jarang dilakukan. Sebagai orang yang bergiat di sector kehutanan dan lingkungan hidup, saya melihat banyak ketentuan yang di-update. Sebagai contoh misalnya ketentuan tentang hutan tanaman. Beberapa waktu yang lalu izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman industry (IUPHHK-HTI) yang dianggap melanggar keputusan menteri kehutanan Nomor 10.1/Kpts-II/2000 diproses oleh Polda. Beberapa pihak menyatakan bahwa pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) tersebut sebagai melanggar hukum dan dapat dipidana.

Apabila kita mengacu pada peraturan perundang-undangan kita, seseorang dapat dipidana apabila terbukti melanggar undang-undang. Melanggar peraturan pemerintah saja, setahu saya sanksinya hanya sanksi administratif saja. Lalu bagaimana mungkin orang melanggar peraturan menteri harus dipidana? Dalam undang-undang Nomor 41 tahun 1999, dalam penjelasan pasal 28 dinyatakan bahwa: usaha pemanfaatan hutan tanaman diutamakan dilaksanakan pada hutan yang tidak produktif dalam rangka mempertahankan hutan alam.

Dalam ketentuan tersebut terdapat kata diutamakan yang berarti adanya pilihan atau alternatif, dan pilihan pertama berupa hutan yang tidak produktif. Pilihan berikutnya tentulah hutan yang produktif, sepanjang hutan yang tidak produktif sudah tidak ada lagi, dan masih dalam kerangka mempertahankan hutan alam. Pemerintah sendiri semestinya telah mempunyai target berapa luas HTI yang harus dibangun, dan berapa luas hutan alam yang harus dipertahankan. Selanjutnya dimana HTI, dan Hutan Alam mana yang harus dipertahankan. Itu harus dijawab oleh pemerintah. Karena itu pulalah, maka surat keputusan menteri bahkan peraturan pemerintah yang terkait dengan hutan tanaman ini beberapa kali dikoreksi. Koreksi atas peraturan pemerintah yang terkait dengan hutan tanaman ini bahkan sampai beberapa kali agar sesuai dengan undang-undangnya. Koreksi pertama mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2002 dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007. Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 ini juga dianggap belum sesuai dengan undang-undang, maka dikeluarkan lagi Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 2008 agar betul-betul sesuai dengan undang-undangnya. Bahkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 2008 ini ketentuan tentang hutan produksi yang tidak produktif juga diberikan penjelasannya. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 penjelasannya hanya berbunyi cukup jelas.

Ketidak akuratan peraturan perundang-undangan seperti ini dapat menyebabkan kegamangan para pelaksana peraturan tersebut. Bayangkan saja kalau seseorang harus mengalami penyidikan gara-gara diduga melanggar peraturan perundang-undangan. Walau pun pada akhirnya dapat bebas misalnya, pastilah orang tersebut sangat menderita lahir batin, bahkan juga keluarganya. Lihat saja pejabat tinggi penegak hukum yang menyatakan betapa tertekan keluarganya akibat penilaian berbagai pihak terhadap dirinya beberapa waktu yang lalu, sebagaimana yang ditayangkan di media televisi. Sudah barang tentu bagi seseorang yang awam pastilah akan jauh lebih menderita. Syukurlah kasus izin HTI yang diproses POLDA Riau telah di SP3-kan. Akan tetapi ternyata masih ada juga orang yang tidak tahu mengenai hal ini, dan masih mempermasalahkan izin HTI yang dianggap melanggar Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 10.1/Kpts-II/2000 yang sudah dicabut pada tahun 2002, bahkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 juga telah dicabut.

Seperti telah disinggung di awal tulisan ini, orang merasa miris/takut bila dia menebang pohon kayu yang ditanam di atas lahan miliknya, sebut saja misalnya pohon jati. Karena tidak mengerti seluk beluk peraturan perundang-undangan kehutanan, maka orang menjadi takut ditahan apabila mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sah-nya hasil hutan. Kalau yang bersangkutan mengerti benar ketentuan perundang-undangannya, tentulah ia akan berusaha mematuhinya. Akan tetapi karena ketidaktahuannya, ya nasiblah. Oleh karena itu, selain sebagai warga negara yang wajib tahu peraturan perundang-undangan, maka peraturan perundang-undangan itu sendiri juga harus jelas, dan disosialisasikan dengan baik. Berkaitan dengan hal-hal disebut di atas, buat mereka yang akan menebang pohon kayu dilahan miliknya, cari dan pelajarilah Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.51/Menhut-II/2006 jo Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.62/Menhut-II/2006.

Semoga bermanfaat.

Pekanbaru, Maret 2010

 

Ir. Abdul Gafar Santoso

Pemerhati Lingkungan

MENGAPA SOPIR SELALU JADI KORBAN


MENGAPA SOPIR SELALU JADI KORBAN


Setiap peraturan perundang-undangan merupakan produk hukum. Oleh karena itu apabila terjadi pelanggaran akan terdapat sanksi hukum kepada para pelanggarnya. Hal ini berlaku pula pada pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan. Berkenaan dengan hal tersebut di atas, para pihak yang terlibat dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dituntut lebih cermat, rasional, bijak dan sudah barang tentu penuh rasa tanggung jawab. Janganlah sampai terjadi pengenaan sanksi hukum menyebabkan seseorang teraniaya gara-gara peraturan perundang-undangannya yang kurang tepat sehingga mengakibatkan kesalahan penafsirannya. Kasus berikut ini kiranya dapat dijadikan bahan renungan bagi para pihak yang terlibat dalam pembuatan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.

Seorang kawan datang bercerita, kawannya bekerja sebagai sopir borongan angkutan kayu sebuah perusahaan besar.  Namanya juga sopir, tentulah bukan orang pintar,  sebab jika dia pintar pastilah dia setidak-tidaknya jadi BOSS Sopir atau bahkan jadi BUPATI atau PEJABAT PEMERINTAH. Sebagai orang yang tidak pandai, dia hanya tahu mengangkut kayu yang dilengkapi dengan surat keterangan kayunya. Pemerintah dan orang-orang yang mengerti menyebutnya Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan yang biasa disebut SKSHH.  Sebagai orang dengan pemikiran sederhana, SKSHH dipikirnya ibarat STNK, kalau lewat waktu berlakunya paling ditilang dan didenda di SAMSAT ketika memperpanjang STNK. Tidak ada sosialisasi dari pemilik kayu apalagi dari pejabat yang berkompeten kepada para sopir.

Alhasil suatu saat gara-gara banjir terpaksa sang sopir harus balik dan ambil jalan memutar.  Akibatnya sebelum sampai tujuan kendaraannya terhadang pemeriksaan rutin oleh Petugas POLRI. Setelah melalui pemeriksaan ternyata SKSHHnya yang berupa faktur angkutan kayu Akasia telah melewati masa berlakunya. Mengingat waktu itu sedang gencar-gencarnya operasi Illegal Logging maka sial-lah sang sopir. Dianggap sebagai pelaku Illegal Logging dia ditahan dan akhirnya diputus Pengadilan dengan pidana satu tahun dan enam bulan penjara serta denda Rp. 1.000.000,- subsider dua bulan kurungan dan membayar biaya perkara sebesar Rp. 5.000,-

Sang sopir yang hampir 50 tahun usianya itu termangu, terlebih isteri dan anak-anaknya.  Bingung, tidak mengerti kenapa suami atau ayahnya harus di penjara. Dia suami yang baik, dia ayah yang sayang keluarga, juga baik dimata tetangga dan teman-temannya.  Dia bukan penjahat, sebagai sopir dia tidak menabrak orang sehingga patut dipenjara.  Dia hanya mengandalkan tenaga dan keahliannya sebagai sopir untuk kehidupan anak dan isterinya.

Lalu bagaimana dengan yang punya kayu? Perusahaan besar yang punya kayu hanya rugi kayunya disita, begitu pula perusahaan angkutan, pemilik truk hanya kehilangan truknya karena dinyatakan telah disita. Sang sopir dinyatakan bersalah oleh Pengadilan karena mengangkut hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan. Sebenarnya bukan karena hasil hutan yang diangkut tidak dilengkapi dengan SKSHH, akan tetapi hasil hutan yang berupa kayu Acacia  itu faktur angkutannya sudah melewati masa berlakunya. Jika dibandingkan sopir itu dengan sopir Mercedes Bens yang harganya ratusan juta, sopir Mercedes Bens itu tetap lebih beruntung. Bila STNK mobilmya telah melewati masa berlakunya, dia hanya ditilang saja dan yang membayar denda tilang yang punya mobil. Coba kalau dia dinyatakan juga sebagai pembawa mobil curian. Mengapa begitu berbedanya, nilai kayu yang  hanya beberapa juta saja harganya dibanding dengan mobil yang ratusan juta rupiah yang  tidak disita dan bahkan mengakibatkan nasib sopirnya berbeda pula.

Nasib itu bak bumi dan langit, yang bodoh semakin bodoh, miskin dan tertindas. Yang pandai semakin pintar, kaya dan berjaya.  Namun yang memprihatinkan adalah lambang keadilan yang diawali dengan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.

Mungkinkah semua itu korban dari peraturan perundang-undangan yang jauh dari sempurna karena hanya bikinan manusia saja, ataukah penafsirannya yang tidak tepat karena yang sempurna itu hanyalah mutlak milik ALLAH SWT.

 

Pekanbaru, 25 Februari 2010

 

Ir. Abdul Gafar Santoso

Pemerhati Lingkungan

Surat Terbuka Untuk Mahkamah Konstitusi


Surat Terbuka Untuk Mahkamah Konstitusi


Dalam KUHAP Nomor 8 Tahun 1981 BAB I Pasal 1 ditetapkan bahwa yang dimaksud dalam undang-undang ini dengan:

  1. Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
  2. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
  3. Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang ini.

Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983, Pasal 3 ayat (1) Penyidik Pembantu adalah:

  1. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi;
  2. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dalam lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (Golongan II/a) atau yang disamakan dengan itu.

Dari pengertian penyidik tersebut di atas, kata “atau” menurut saya memberikan makna bahwa penyidik polisi atau penyidik pegawai negeri sipil masing-masing berdiri sendiri. Masing-masing memiliki kewenangan sendiri sesuai dengan bidang tugasnya, walaupun pejabat penyidik pegawai negeri sipil dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan pejabat penyidik kepolisian negara.

Pejabat penyidik pegawai negeri sipil tersebut, dalam penjelasan KUHAP di antaranya adalah pejabat bea dan cukai, pejabat imigrasi, dan pejabat kehutanan. Namun dalam prakteknya ketentuan yang ada pada masing-masing undang-undang menurut saya ternyata berbeda-beda.

Dalam undang-undang Kehutanan berbunyi:

Selain pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Pasal ini menurut saya bermakna: penyidikan tindak pidana di bidang kehutanan dapat dilakukan oleh penyidik POLRI maupun penyidik pegawai negeri Kehutanan.

Dalam Undang-Undang tentang Kepabeanan berbunyi:

Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jendral Bea dan Cukai, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang kepabeanan.

Pasal ini menurut saya bermakna: hanya penyidik pegawai negeri sipil bea dan cukai yang dapat menyidik tindak pidana di bidang kepabeanan, karena dihapuskannya kalimat “Selain pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia” sebagaimana yang ada pada Undang-Undang kehutanan.

Dalam Undang-Undang tentang Perpajakan bahkan berbunyi:

Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jendral Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan.

Pasal ini lebih tegas lagi menyatakan bahwa hanya penyidik pegawai negeri sipil di lingkungan Direktorat Jendral Pajak saja yang berwenang menyidik tindak pidana di bidang perpajakan, tidak oleh penyidik POLRI atau penyidik manapun.

Dalam Undang-Undang tentang Penataan Ruang berbunyi:

Selain pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang penataan ruang, diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk membantu pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Pasal ini menurut saya lebih memasung kewenangan pejabat penyidik pegawai negeri sipil di bidang penataan ruang, karena tugasnya hanya membantu penyidik polri. Yang lebih tidak jelas lagi, apakah penyidik pegawai negeri sipil tersebut adalah merupakan penyidik pembantu sebagaimana yang dimaksud dalam KUHAP. Bila benar demikian, pasal ini menurut saya lebih kacau lagi.

Pemahaman saya mengenai ketentuan tentang penyidikan ke empat Undang-Undang tersebut di atas, hanya Undang-Undang tentang Kepabeanan dan Undang-Undang tentang Perpajakan yang benar-benar sesuai dengan atau mengacu pada KUHAP. Pasal penyidikan seperti di bidang Kehutanan, Penataan Ruang, dan beberapa Undang-Undang yang lain yang dapat ditangani oleh penyidik polri maupun penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) yang bersangkutan, menurut saya selain tidak sesuai dengan KUHAP juga akan membuat PPNS menjadi tidak professional dan pasif. Penyidik polri sebagai koordinator dan pengawas PPNS seharusnya tidak mengambil alih tugas PPNS. Hal ini akan mengaburkan tugas pokok serta fungsi dan tanggung jawab masing-masing institusi, sebagaimana dimaksud dalam Sistem Administrasi Negara yang baik.

Berkaitan dengan hal-hal di atas, mohon kiranya Bapak Ketua Mahkamah Konstitusi berkenan memberikan pencerahan. Betulkah ketentuan mengenai penyidikan dalam Undang-Undang tentang Kehutanan, dan atau Penataan Ruang, dan atau beberapa Undang-Undang yang lain, sama dengan yang ada pada dalam Undang-Undang tentang Kepabeanan dan atau tentang Perpajakan, yaitu benar-benar sesuai dengan KUHAP.

Demikian hal ini saya sampaikan, atas perhatian Bapak Ketua Mahkamah Konstitusi saya ucapkan terima kasih.

Pekanbaru, 24 Februari 2010

 

Ir. Abdul Gafar Santoso