Sekali lagi tentang Sopir Angkutan Kayu dan Sopir Mercy
Sekali lagi tentang Sopir Angkutan Kayu dan Sopir Mercy
Dalam tulisan saya yang lalu telah saya gambarkan betapa berbedanya nasib sopir angkutan kayu dibandingkan dengan sopir Mercy yang ibarat langit dan bumi. Betapa tidak, Sopir angkutan kayu legalitas kayunya ditentukan oleh faktur angkutan kayu dan Sopir Mercy legalitas Mercynya ditentukan oleh STNK mobilnya. Nasib keduanya berbeda jauh manakala masa berlakunya faktur dan STNK terlewatkan. Bagi kayu yang masa berlakunya faktur telah lewat tiga hari harus disidang di Pengadilan dengan vonis satu tahun enam bulan penjara ditambah denda dan biaya perkara. Sedangkan untuk sopir Mercy sama sekali tidak dipenjara karena cukup membayar tilang dan bayar denda keterlambatan STNK saja.
Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa perlakuan terhadap faktur dan STNK bias berbeda yang berakibat nasib sopirnya berbeda?
Pada kasus yang pernah terjadi, kayu akasia yang diangkut Sopir tersebut sah menurut hukum karena berasal dari areal IUPHHK-HTI. Dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 Pasal 38 ayat (4) bahkan ditetapkan bahwa: Tanaman yang dihasilkan dari IUPHHK pada HTI merupakan asset pemegang izin usaha, dan dapat dijadikan agunan sepanjang izin usahanya masih berlaku. Dari Pasal 28 ayat (4) PP No. 6 Tahun 2007 ini dapat disimpulkan bahwa kayu hasil tanaman merupakan milikn perusahaan. Jadi walaupun fakturnya telah terlewati masa berlakunya, sepanjang jenis dan volume kayunya sama dengan yang tertera dalam faktur seharusnya tidak dapat membatalkan keabsahan kayu tersebut. Sebaliknya mobil Mercy yang STNK-nya telah terlewati masa berlakunya, maka mobil tersebut juga tidak akan diperlakukan sebagai barang illegal (mobil curian).
UU Kehutanan sendiri dalam penjelasan Pasal 50 ayat (2) huruf h menyatakan:
Yang dimaksud dengan “dilengkapi bersama-sama” adalah bahwa pada setiap pengangkutan, penguasaan, pemilikan hasil hutan, pada waktu dan tempat yang sama, harus disertai dan dilengkapi surat-surat yang sah sebagai bukti.
Apabila antara isi dokument surat keterangan sahnya hasil hutan tersebut tidak sama dengan keadaan fisik baik jenis, jumlah, maupun volumenya, maka hasil hutan tersebut dinyatakan tidak mempunyai surat-surat yang sah sebagai bukti.
Penjelasan Pasal 50 ayat (2) huruf h tersebut di atas sama sekali tidak menyatakan perihal masa berlakunya surat keterangan sahnya hasil hutan sebagai salah satu faktor penentu sah tidaknya hasil hutan yang bersangkutan. Penjelasan Pasal 50 ayat (2) huruf h tersebut di atas hanya menyatakan bahwa: pada waktu dan tempat yang sama keadaan fisik hasil hutan baik jenis, jumlah, maupun volumenya, harus sama dengan yang tertera dalam surat keterangan sahnya hasil hutan tersebut agar hasil hutan tersebut dinyatakan sah. Sebagai contoh misalnya: pada tanggal 10 Januari 2010 ditemukan si Bulan mengangkut kayu meranti tiga potong, kayu balam empat potong, dan kayu punak enam potong. Dari pemeriksaan ternyata jenis kayunya sama persis antara fisik dengan isi dokumen surat keterangan sahnya hasil hutan. Begitu juga dengan jumlah maupun volume masing-masing potongan kayu juga sama. Jadi kayu-kayu tersebut seharusnya sah menurut UU.
Pertanyaan selanjutnya: apabila keadaan fisik hasil hutan tersebut sama persis dengan isi dokumen, akan tetapi masa berlakunya dokumen hasil hutan tersebut telah terlewati, peraturan mana yang dilanggar?
Untuk pertanyaan tersebut saya berpendapat bahwa si Bulan sama sekali tidak melanggar UU. Karena tidak melanggar UU, seharusnya si Bulan tidak dapat dipidana penjara. Seharusnya kepada si Bulan hanya dikenai sanksi administratif saja. Hal ini serupa dengan sopir Mercy yang STNK mobilnya telah terlewati masa berlakunya oleh Hakim hanya didenda tilang dan didenda waktu mengurus perpanjangan STNK. Berdasarkan peraturan perundang-undangan, seseorang dipidana manakala dia terbukti telah melanggar UU. Bahkan seseorang yang melanggar PP saja hanya dikenai sanksi administratif saja, apalagi kalau hanya melanggar Peraturan Menteri.
Untuk itu seharusnya peraturan perundang-undangan tata usaha kayu atau hasil hutan pada umumnya perlu dilakukan reformasi. Diakui atau tidak perundang-undangan yang terkait dengan tata usaha kayu kita sebagian besar masih bernafaskan peraturan jaman kolonial. Kata-kata dikuasai oleh Negara atas sumber daya alam tidak seharusnya menghapus hak-hak pribadi. Hasil Hutan termasuk kayu apabila diperoleh secara sah dan telah dibayar semua kewajibannya kepada Negara (PSDH, DR, dan sebagainya) dan telah disertai dan dilengkapi dokumen secara benar haruslah dinyatakan sebagai hak pribadi yang sah dari pemiliknya atau yang menguasai atau yang mengangkutnya.
Di masa lalu, hutan hanya diurus dan dikelola oleh Negara dari sejak jaman penjajahan, lalu oleh Jawatan Kehutanan, kemudian oleh Departemen Pertanian. Setelah dibentuk PN Perhutani di Jawa yang kemudian menjadi Perum Perhutani dan Perusahaan Kehutanan Negara di Kalimantan yang kemudian menjadi PT Inhutani dan akhirnya meluas pula ke Sumatera. BUMN-BUMN tersebut diberikan tugas dan wewenang mengelola hutan-hutan selain Pemerintah Daerah. Jadi wajar kalau hasil hutan waktu itu sepenuhnya dikuasai oleh Negara. Akan tetapi setelah adanya hak pengelolaan hutan yang diberikan kepada perorangan dan badan-badan usaha, bahkan hutan rakyat atau hutan milik yang berkembang luas, bagaimana mungkin tata usaha kayunya masih saja bernafaskan peraturan masa lalu.
Coba saja Polisi atau Jaksa atau Hakim yang pernah menangani kayu-kayu milik yang dokumen keabsahan kayunya telah kadarluarsa dan divonis hukuman penjara, juga memiliki kayu dari hasil tanaman sendiri. Sebagai hamba hukum saya yakin kalau mereka mau memanfaatkan kayu-kayu hasil hutan tanamannya sendiri, mereka pasti mengurus izin pemanfaatannya kepada pihak yang berwenang. Nah kalau karena sesuatu sebab masa berlaku dokumennya telah kadarluarsa (misalkan terlewat 10 hari), apakah yang bersangkutan juga merasa patut dipidana penjara dan kayunya disita? Saya yakin beliau-beliau itu pasti akan bersiteguh bahwa: kayu-kayu ini milik pribadi saya, bukan dari mencuri punya orang lain apalagi dari hutan Negara. Ini hasil tanaman sendiri, mengapa harus disita dan harus dipidana penjara, dan berbagai argumentasi lainnya.
Contoh lain misalnya ada Polisi atau Jaksa atau Hakim yang tinggal di Medan atau Padang membeli kayu jati dari Perum Perhutani di Cepu. Kayu jati tersebut kemudian diangkut ke Medan atau Padang. Sudah barang tentu kayu-kayu tersebut dilengkapi dengan FA-KB untuk keabsahan kayu-kayunya. Andaikata masa berlakunya FA-KB kayu-kayu tersebut ditetapkan 15 hari, akan tetapi karena berbagai hambatan di jalan, begitu sampai di Jambi ternyata dari hasil pemeriksaan FA-KBnya telah terlambat dua hari. Apabila FA-KB tersebut belum ada legalitas dari pejabat yang berwenang yang menyatakan bahwa telah terjadi keterlambatan akibat hambatan dijalan dan diberikan perpanjangan masa berlaku FA-KB tersebut, maka kayu-kayu tersebutberdasarkan pengalaman selama ini pasti dinyatakan sebagai kayu illegal. Akibatnya sopir dipidana penjara, kayu dan kendaraan pengangkut disita.
Pertanyaannya: Bagaimana sikap Polisi atau Jaksa atau Hakim yang memiliki kayu-kayu tersebut?
Saya hanya ingin mengetuk hati nurani pihak-pihak yang berwenang menyiapkan peraturan perundang-undangan dan aparat penegak hukum utamanya, tolonglah dengan jernih pikirkan lagi perundang-undangan tata usaha kayu dan hasil hutan yang selama ini. Telaah kembali proses dan hasil persidangan kasus-kasus kehutanan selama ini dari sejak penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga dijatuhkannya vonis Pengadilan. Semoga tulisan ini ada manfaaatnya.
Pekanbaru, November 2010
Ir. Abdul Gafar Santoso
Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan